Oleh:
Noor Fitrihana
Saat ini demam batik sedang melanda dunia mode Indonesia. Gerai-gerai Fashion di mal-mal ternama memajang busana batik dengan berbagai sentuhan disain tren masa kini. Pameran dan seminar tentang batik sedang giat giatnya dilakukan. Artikel dan liputan tentang batik juga sering muncul di media cetak dan elektronik. Bahkan acara reality show di beberapa stasiun televisi juga menggunakan dress code batik. Kuliah umum Bill Gate di Indonesia beberapa waktu lalu juga menggunakan busana batik. Instansi pemerintah maupun swasta juga sedang menggalakkan seragam batik bagi para karyawannya. Pemda-pemda di daerah penghasil batik sedang giat-giatnya membangkitkan industri batik dengan mewajibkan para PNS menggunakan batik atau kain tradisional daerah tersebut pada hari tertentu. Beberapa kedutaan besar diluar negeri pun mulai mewajibkan para staffnya mengenakan batik pada hari tertentu untuk lebih mempromosikan batik. Euforia batik sedang melanda Indonesia.
Apakah fenomena ini muncul dikarenakan isu bahwa batik telah dipatenkan oleh negara tetangga kita? Mungkin saja. Banyak masyarakat meradang, para pengusaha dan pecinta batik pun terperangah. Dipicu isu batik telah dipatenkan negara tetangga yang dulu jadi “murid” bangsa ini maka segenap anak bangsa mulai tersentuh nasionalisme dan rasa memiliki batik. Mereka mulai mengkampanyekan bahwa batik adalah milik bangsa Indonesia melalui karya-karya dan potensi yang dimiliki. Keyakinan kita bahwa batik adalah asli Indonesia bisa dibuktikan dari definisi batik dalam Textile Term yang dikeluarkan oleh THE TEXTILE MUSEUM di Washington DC Amerika (www.textilemuseum.org) yang mendefiniskan batik sebagai berikut: Indonesian term for the wax-resist dyeing process, or a fabric decorated with this process. Such fabrics reached fantastic heights of virtuosity on the island of Java in Indonesia in the late 19th and early 20th centuries after the introduction of machine-made cotton fabrics permitted more finely controlled designs.
Motif batik di Indonesia sangat beragam, penuh filosofi, khas dan sudah menjadi identitas bangsa. Meski di Indonesia definisi batik sendiri juga masih kabur apakah dilihat dari aspek desain/motif ataukah dilihat dari aspek teknik pembuatannya melalui rintang celup dengan lilin. Yang sering menjadi perdebatan adalah apakah kain bermotif batik yang dibuat dengan teknologi printing modern bisa dikategorikan sebagai kain batik.
Namun jika dilihat dari kacamata motif teknik inilah yang mungkin malah menjadi salah satu pelestari, pengembang, dan penyebaran motif batik ke pelosok dunia. Mungkin dari sinilah muncul definisi batik tidak hanya sekedar dari sisi teknologi pembuatannya tetapi juga dari sisi motifnya. Kita bisa mengatakan bahwa motif yang seperti ” itu” adalah motif batik meski banyak motif yang ada pada kain hanya motif-motif tertentu “itulah” yang disebut orang sebagai batik. Artinya dari sisi motif, batik sudah memiliki identitas yang jelas.
Dari definisi motif batik inilah kita bisa klaim bahwa batik adalah asli Indonesia. Bagaimana dari sisi teknologi pembuatannya? Dari definisi sisi teknologi pembuatannya mungkin masih bisa diperdebatkan untuk mengklaim bahwa teknik batik adalah milik Indonesia. Karena teknik resist dyeing (rintang celup) entah itu dengan lilin, ketan, tali (ikat celup ) dan lainnya di setiap negara hampir pasti memiliki warisan teknik ini karena merupakan bagian dari perkembangan peradaban manusia.
Nasib Pembatik
Sebagian pihak menyalahkan industri printing batik sebagai salah satu penyebab runtuhnya industri batik tradisional yang masih mengandalkan teknik tradisional dan keterampilan tangan untuk menghasilkan batik. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Jika kita tinjau dari sisi teknologi maka teknologi itu akan selalu berkembang seiring kemajuan IPTEKS. Oleh karena itu munculnya batik printing harus disikapi secara bijak bahwa itu merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang tidak bisa dilawan dan dihalangi oleh siapapun.
Kita bisa berkaca dari para pelukis, pelukis tidak pernah mati meski software desain grafis dan digital camera semakin mudah, murah dan canggih. Dalam kasus batik, kita harus bisa melihat dari kacamata pelestarian motif bahwa dengan teknologi printing ini batik bisa memenuhi pasar yang luas merambah ke seluruh dunia dan dapat menghasilkan dalam jumlah yang masal dalam waktu yang singkat. Disadari atau tidak teknologi printing ini juga menjadi salah satu faktor semakin populernya batik Indonesia di seluruh dunia. Tanpa hadirnya teknologi ini bisa dibayangkan jika ada permintaan baju batik berjuta-juta ton di pasar dunia apakah para pengrajin batik mampu memenuhinya?.
Lalu bagaimana nasib pengrajin batik tradisional jika karya mereka digilas oleh batik printing? Apakah akan dibiarkan mereka mati dan bangkrut?.Untuk menjawab ini Penulis mencoba mengkaji dari sisi penghargaan terhadap para pembatik. Bangsa ini ataupun pengusaha batik seringkali kurang menghargai para pembatiknya. Tidak ada penghargaan untuk mereka para pembatik kecuali sebatas sebagai buruh. Pembatik tidak dianggap sebagai salah satu profesi formal ataupun seniman. Mereka adalah pekerja informal yang seringkali tidak tercakup dalam peraturan ketenagakerjaan. Para pembatik tidak pernah dianggap dan dihargai sebagai maestro seperti para pelukis, desainer dan seniman besar lainnya. Mereka terpinggirkan.
Bangsa ini sebenarnya banyak memiliki maestro batik. Namun hingga sampai saat ini bahkan anak cucu kita nanti tidak pernah mengenal siapa pembatik yang hebat karena mereka tidak pernah muncul dipermukaan. Kalau ditanya maestro pelukis batik kita mengenal almarhum Amri Yahya namun jika ditanya maestro batik Indonesia mungkin kita sulit menyebutkan satu nama. Bahkan dari semua motif batik yang kita kenal saat ini siapa pencipta desain dan pembatiknya hampir semua “No Name”. Yang kita kenal adalah, nama motif, merek (brand) dan kota asal batik serta para desainer, kolektor dan pengusaha batik yang kemungkinan tidak bisa membatik.
Kehilangan jejak para pembatik ini semakin lama akan semakin nyata apalagi saat ini sekolah-sekolah sudah jarang yang menyelenggarakan pelajaran membatik. Boleh dikatakan saat ini para pembatik adalah manusia langka. Dan mungkin 10 – 15 tahun lagi akan mendekati kepunahan.
Melestarikan Batik
Produk batik bisa kita ibaratkan sebagai lagu yang dinyanyikan oleh sebuah grup band dan diedarkan dalam bentuk kaset dan CD oleh produser. Dari lagu tersebut jelas siapa penyanyinya, siapa penciptanya, siapa pengaransemenya, siapa saja nama anggota bandnya dan siapa label/produsernya. Dan semua mendapat nama dan keuntungan (royalty) masing masing. Bagaimana dengan batik? tidak jelas siapa yang mencipta motif, siapa yang mencantingkan dan mengecapkan lilin, dan siapa yang memproses pencelupannya sehingga menjadi pembatik bukan merupakan profesi yang menjanjikan dan mereka hanya berstatus sebagai buruh. Yang dikenal hanya motif, brand, dari kota mana batik tersebut, desainer, kolektor dan pengusahanya. Ironis bukan.
Kita sendiri yang melupakan para pencipta identitas bangsa. Akhirnya semakin berkurang para pembatik karena pembatik tidak pernah dikenal, tidak pula disebut seniman mereka hanya pekerja informal yang tidak layak dikenal dan meraup untung serta meningkatnya kesejahteraan mereka dengan tren batik yang berkembang saat ini. Hal inilah yang menjadikan runtuhnya generasi pembatikdi Indonesia.
Meski saat ini trend batik juga melanda anak muda dan mode busana batik sudah tidak ketinggalan zaman, namun batik masih selalu diidentikkan dengan orang tua. Coba perhatikan poster dan gambar pembatik hampir pasti yang muncul adalah gambar para perempuan tua yang sedang membatik. Visualisasi ini ditengarai dapat menurunkan kebanggaan seseorang untuk mau belajar tentang proses pembatikan. Mari kita mulai memvisualkan dan mengkampanyekan gambar orang membatik dengan artis-artis muda yang cantik dan tampan sehingga akan lebih menarik minat generasi sekarang untuk belajar batik. Kalau perlu angkat duta batik ataupun putri batik yang menguasai teknik batik bukan hanya sekedar cantik dan mampu berlenggaklenggok mengenakan busana batik.
Dalam upaya melestarikan batik kita sering terjebak pada produk batik itu sendiri. Kita getol mengkoleksi berbagai produk batik, kita bangga memiliki koleksi batik yang dibuat tahun sekian, dari kota ini dengan harga sekian juta belinya di toko batik “itu” tanpa kita pernah tahu dan banggakan siapa yang mencipta disainnya, siapa pembatiknya dan siapa pencelupnya. Padahal keistemewaan dan kualitas produk batik tersebut tercipta dari tangan merekan bukan pengusaha, merk atau toko yang menjualnya. Kita sering lupa adanya sebuah produk pasti melalui tangan “sang pencipta”. Berbeda dengan sebuah produk lagu kita kenal siapa penyanyinya, siapa yang penciptanya, siapa yang mengaransemen dan siapa pula yang mengedarkannya. Dan setiap yang terlibat dalam produksi lagu tersebut memperoleh hasil yang seimbang dan adil.
Oleh karena itu untuk melestarikan batik, kita perlu lebih menghargai karya cipta seseorang. Mari kita “uwongke” para pembatik kita. Kita kenalkan para maestro dan pembatik profesional yang bangsa ini miliki. Jika perlu data dan sensus para pembatik yang masih kita miliki, bentuk asosiasi profesi pembatik dan kita perlu mewajibkan mencantumkan nama pencipta disain dan pembatik pada setiap produk batik yang beredar terutama untuk batik tulis. Masukkan kembali keterampilan batik dalam pelajaran di sekolah terutama di sentra-sentra batik.
Alangkah indah, bahagia dan sejahteranya jika pembatik bisa dihargai setara sebagai pencipta lagu, penyanyi, desainer atau maestro lukis. Karena selama ini upaya-upaya melestarikan dan rasa memiliki batik seringkali kita melupakan para kreatornya. Melestarikan batik tidak hanya berarti mengkoleksi, menggunakan dan mempromosikan produk batik tetapi juga harus lebih menghargai dan meregenerasi para pembatiknya.



